Bunuh diri bisa terjadi pada beberapa situasi, misalnya pada individu yang mengalami gangguan depresi, gangguan afektif bipolar, skizofrenia dan gangguan kepribadian. bunuh diri dilakukan karena mereka merasa bersalah, putus asa, dan memikirkan masa depan yang suram.
KEINGINAN dan tindakan bunuh diri juga bisa dilakukan akibat individu merespon halusinasi. Bagi individu yang mengalami depresi, bunuh diri dilakukan untuk mempercepat kematian dengan harapan bisa membebaskan dirinya dari “nyeri kehidupan” dan mengurangi beban penderitaanya. Pada penyakit skizofrenia, bunuh diri dilakukan karena individu merespon atau menuruti isi halusinasinya agar mengakhiri kehidupannya.
Pada individu yang mengalami Gangguan Kepribadian Ambang, bunuh diri dilakukan karena pola pikir yang dalam menghadapi permasalahan kehidupan kurang lentur (kurang adaptif) sehingga mudah marah dan putus asa. Pada situasi lain, individu yang berpotensi melakukan bunuh diri adalah penderita penyakit kronis, kondisi fisik yang buruk atau kecacatan, riwayat tindakan bunuh diri sebelumnya, peristiwa kehidupan yang negatif (menyakitkan), dan masa anak-anak yang mengalami abuse/ neglect atau terabaikan, riwayat keluarga dengan gangguan psikiatri, depresi sedang/berat, hopelesness (tidak ada harapan), penyalahgunaan alkohol/ obat-obatan, kecemasan.
Selain itu, risiko bunuh diri juga bisa muncul ketika seseorang melihat secara langsung / melalui media elektronik orang yang melakukan tindakan bunuh diri dan pada LGBT (lesbian, gay, biseksual, LGbT RENTAN buNuH DIRI Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah JAMA Pediatrics mengumpulkan data dari beberapa penelitian sebelumnya tentang LGBT, terungkap bahwa remaja yang mengalami gangguan orientasi seksual ini hampir enam kali lebih berisiko melakukan percobaan bunuh diri dibanding individu normal lainnya.
Dalam studi penelitian itu, disimpulkan bahwa seorang remaja LGBT secara keseluruhan memiliki kerentanan 3,5 lebih tinggi dalam percobaan bunuh diri dibanding mereka yang heteroseksual. Sedangkan individu yang memiliki orientasi seksual transgender, misalnya, mereka memiliki skala kerentanan sebesar 5,87, gay dan lesbian berada di kisaran angka kerentanan 3,71, dan biseksual sebesar 3,69 kali dalam percobaan bunuh diri. Psikiater RSUD dr. Iskak, dr. Dito secara khusus mengurai sebab-sebab tingginya potensi/risiko bunuh diri pada individu yang mengalami disorietasi seksual, LGBT.
Menurut dia, ada beberapa alasan yang menyebabkan LGB T rentan terhadap bunuh diri. LGBT sendiri merupakan salah satu gangguan orientasi seksual. Menurut dr. Dito, LGBT kemungkinan terjadi setelah adanya pengalaman seksual masa lalu yang tidak meyenangkan, seperti pernah menjadi korban pelecehan seksual di masa anak-anak. LGBT terjadi dan dipengaruhi pula oleh pola asuh dalam keluarga, terutama di masa anak-anak.
“Pola asuh yang tidak sehat itu berpotensi menjadikan individu mempunyai coping mechanism yang tidak sehat. Hal itu menyebabkan individu menjadi mudah cemas, depresi, putus asa, frustasi bila keinginannya tidak dituruti dan sebagainya,” ujar dr. Dito, Psikiater yang hobi mengumpulkan barang-barang antik ini. Mekanisme koping adalah cara/ pola yang dilakukan individu dalam menghadapi masalah, menyesuaikan diri pada perubahan kehidupan, serta respon terhadap situasi yang mengancam.
Seorang LGBT yang sedang bermasalah dengan pasangannya akan cenderung agresif atau depresi. Hal itu karena masalah dengan pasangan LGBT dipandang sebagai beban berat baginya. Dia akan sangat sulit terbuka dengan orang lain, terutama kepada yang non-LGBT. Selain juga persaingan dalam dunia LGBT sebagai komunitas tertutup sangat ketat. Kondisi-kondisi inilah yang membuat seorang LGBT menjadi rentan depresi.
Mereka merasa sendirian, tidak ada teman yang bisa mengerti, canggung untuk terbuka dengan teman-teman di luar komunitasnya, merasa tidak ada harapan lagi sehingga akan rentan melakukan tindakan bunuh diri. Dalam situasi yang begitu, langkah pencegahan yang harus dilakukan untuk memberi perhatian adalah Stay Stay With Patient. Selalu ada dekat/ disamping pasien. Jangan biarkan mereka sendirian. Jika kita tidak bisa untuk bersamanya, maka carikan orang lain yang bisa untuk menemani orang yang ingin bunuh diri.
Selain itu, untuk menghalangi seseorang yang berencana melakukan bunuh diri bisa dilakukan dengan cara persuasif dan pendekatan psikologis. Misal dengan bersikap simpatik. Mencoba memahami masalah yang dia alami, dan mendengarkan dengan empati apa yang menjadi keluhan atau curahan hatinya dengan panuh perhatian. Tunjukkan padanya bahwa kita bersedia mendengarkan permasalahannya, meskipun itu adalah masalah yang sangat menyakitkan.
“Jika pasien menghilang, kita harus mencarinya. Usahakan terus menghubunginya. Sediakan waktu untuknya dan dorong dia untuk mencari bantuan profesional. Bekerja sama dengan pihak lain yang bisa membantu,” ucap dr Predito. Dan terakhir yang harus diingat, lanjut dia, hindari penggunaan diksi atau pernyataan yang bersifat menyalahkan atau menghakimi. Hal tersebut hanya akan membuat dia semakin tenggelam dalam jurang depresi dan keputusasaan, sehingga meningkatkan risiko bunuh diri.